Puisi, Arkaisme, Fotografi, dan Pelecehan Bahasa

Angin
2 min readJan 26, 2024

--

Aku berada dalam anggana
Memecut momen yang apakala (?)

Dalam sebuah pilihan sebelum diperkosa sang barua…
Satu jam untuk ditangkap denawa (!)

Kupanjangkan langkah sebelum merekah
Dalam fragmen yang menolak singgah
Serupa foto Arbus yang begitu megah /

Begitu sombong dan rondah-rindih!

Aku adalah arkais — kuno dan tak terpakai
Yang menolak mati dengan sani dan seni
Meski aku adalah sang uai,

yang dalam bahasa, berarti syajar khuldi.

“Puisi jelek seperti itu, tak mampu membuat siapapun merasa bingung, tapi cukup untuk membuatmu terlihat tolol.”

“Puisiku bukan untuk membuat orang lain kebingungan. Puisiku memang seharusnya bertentangan dengan bahasa, serupa fiksi yang bertentangan dengan realita. Bahkan dialog ini pun adalah puisi itu sendiri. Kamu harus cukup tolol untuk dapat mengerti.”
“Kamu sedang bermonolog, tolol, bukan berdialog. Dan ini bukan puisi sama sekali!”

“Bukankah sudah aku bilang, bahwa puisiku bertentangan dengan bahasa, dengan kata lain, tak beraturan sama sekali. Jadi, ya, terserahku mau menyebut dialog atau monolog, mau menyebut puisi atau cerpen, atau monodrama, atau apa pun para anjing itu menyebutnya. Oh, ya, yang tolol itu aku atau kamu, yang berpuisi saja harus mengikuti aturan — yang mana kau tidak dilibatkan sama sekali saat para ahli itu membuat aturan terhadap bahasa dan puisimu sendiri. Dasar anjing penurut, kamu adalah sebaik-baiknya anjing bahasa dan sastra!”

“Gila. Untuk apa kau habiskan waktumu di kampus, masuk jurusan sastra, bertemu orang-orang sastra, jika pada akhirnya kau hanya menjadi pemuda kelewat bebal seperti ini, tolol!”

“Ya, aku adalah orang tolol. Semua dosenku adalah orang tolol. Semua temanku lebih tolol lagi. Semua orang itu tolol, dan yang paling tolol adalah yang merasa pintar. Dan, aku pergi ke kampus, belajar sastra dan kesia-siaan semacamnya memang untuk menjadi pemuda tolol secara kafah. Agar ketololanku dan ketololanmu bisa seimbang, karena bagaimanapun, kamu tetaplah diriku juga.”

Orang tolol berjalan ke belakang
Dan yang pintar, menyebutnya pembangkang
Orang pintar berjalan ke depan
Dan yang tolol, menyebutnya garda terdepan

Si bodoh punya anggai

untuk peringatkan si hebat

dari beribu aras.

Rembanglah sang bujang

yang penuh awang-gemawang
Mencari mastautin
Di antara sekar kinantan

Si bujang, si bodoh, dan si pintar semuanya kebanyakan adicita
dan berakhir dalam apokalips.

Menyedihkan.

--

--

Responses (1)